Goni/PewartaSulut.com
Jakarta, – Prediksi menurunnya produksi sawit nasional tahun ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam membagi pasokan sawit untuk kebutuhan pangan dan produksi bioenergi.
Defisit minyak sawit memunculkan kekhawatiran akan terulangnya polemik kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng seperti yang terjadi pada 2022-2023.
Harga Eceran Tetap (HET) “Minyak Kita”, produk minyak goreng subsidi pemerintah, telah mengalami lonjakan kenaikan yang cukup tinggi dari Rp 14.000 menjadi Rp 18.000 pada November 2024.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menyatakan bahwa akar permasalahan terletak pada penetapan “dua harga” CPO yang menciptakan kecenderungan penjudian produk untuk kepentingan biodiesel. Minggu, (09/02/2025).
Belum adanya pengaturan yang jelas antara CPO untuk kebutuhan pangan dan energi semakin meniscayakan adanya kompetisi antara keduanya.
Studi oleh Sawit Watch, Satya Bumi, dan Koalisi Transisi Bersih dalam buku “Prahara Minyak Goreng: Dampak Kebijakan Bahan Bakar Nabati terhadap Pasokan Minyak Goreng” menyarankan beberapa langkah yang perlu dilakukan pemerintah, antara lain mengatur pola konsumsi CPO, evaluasi dan pengawasan sistem distribusi minyak goreng, menjaga kestabilan HET minyak goreng, serta reformasi aset bagi petani sawit rakyat.
Program Biodiesel B40 Berpotensi Menyebabkan Defisit Minyak Sawit Nasional
Kebijakan pengembangan biodiesel B40 yang dimulai awal tahun ini berisiko tinggi menyebabkan defisit minyak sawit nasional, yang akhirnya berdampak pada pasokan untuk pangan.
Produksi minyak sawit nasional pada tahun 2025 diperkirakan turun sebesar 5,1% akibat penurunan produktivitas lahan karena sebagian besar tanaman sawit sudah masuk usia non-produktif atau perlu diremajakan.
Sementara itu, permintaan domestik sawit akan tinggi melihat pengembangan biodiesel serta program nasional lain seperti Makan Bergizi Gratis.
Marselinus Andry, Kepala Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menyatakan bahwa penerapan B40 akan meningkatkan kuota biodiesel nasional menjadi 15,6 juta kiloliter (kl) dari sebelumnya 12,98 juta kl dalam Program B35.
Kebijakan ini berpotensi menyebabkan defisit minyak sawit nasional, dengan proyeksi penurunan produksi dan peningkatan kebutuhan domestik yang akan menyebabkan Indonesia kekurangan sebesar 1,04 juta MT minyak sawit.
Solusi untuk Memenuhi Kebutuhan Sawit dalam Memproduksi Biodiesel
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengetatan ekspor limbah pabrik kelapa sawit (POME), residu minyak sawit asam tinggi (HAPOR), dan minyak jelantah (UCO) melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2025.
Namun, kebijakan ini dinilai tidak menyelesaikan akar persoalan defisit minyak sawit untuk kebutuhan domestik dan justru berdampak buruk bagi petani sawit swadaya.
Andry menekankan pentingnya mengatur rantai pasok dari petani swadaya, termasuk pasokan brondolan tandan buah segar dari petani yang dialihkan ke pabrik kelapa sawit.
Langkah ini penting untuk memastikan jaminan bahan baku untuk biodiesel dan menguntungkan petani swadaya yang selama ini tersingkir dalam rantai pasok CPO untuk industri hilir, termasuk biodiesel.
Indonesia memiliki potensi sekitar 5,31 juta ha perkebunan sawit swadaya dengan produktivitas CPO/ha dalam setahun sebesar 2,8 MT, sehingga potensi produksi CPO dapat mencapai 14,87 juta MT atau 15,94 juta kL biodiesel.
Potensi ini dapat menutupi kebutuhan produksi biodiesel B40.
Selain itu, potensi minyak jelantah (UCO) yang belum tergarap di dalam negeri bisa menjadi alternatif untuk biodiesel.