Goni / pewartasulut.com
MINAHASA,
Suasana tegang mewarnai Desa Rumbia, Kecamatan Langowan Selatan, Kabupaten Minahasa pada Rabu, (11/06/2025).
Konflik kepemilikan tanah di wilayah Kilo 22 dan 23 antara keluarga besar Pandeiroot Allow dan sekelompok orang yang di antaranya melibatkan mantan perangkat desa memuncak.
Keluarga Pandeiroot Allow sebelumnya memasang baliho pengumuman kepemilikan tanah yang diklaim sebagai milik turun-temurun sejak leluhur mereka, Dotu Karel Sigar.
Pemasangan ulang baliho ini dilakukan setelah baliho sebelumnya dirusak dan dicabut oleh oknum yang tidak dikenal.
Tujuan pemasangan baliho adalah untuk menegaskan kepada publik bahwa tanah tersebut tidak pernah dihibahkan, dipindahtangankan, atau diperjualbelikan.
Ketegangan meningkat ketika sekelompok orang, salah satunya terlihat membawa senjata tajam, tiba-tiba datang dan mencabut salah satu baliho yang baru dipasang.
“Kita lihat yang mencabut baliho itu menggunakan jaket hijau,” ujar seorang saksi mata.
Keluarga Pandeiroot Allow langsung memprotes tindakan tersebut dan mempertanyakan alasannya.
Ketegangan semakin meningkat ketika diketahui bahwa rombongan tersebut datang bersama mantan Kepala Desa (Hukum Tua) dan mantan Sekretaris Desa Rumbia.
Perdebatan sengit pun terjadi, Keluarga Pandeiroot Allow mempertanyakan legalitas klaim kepemilikan yang disampaikan mantan perangkat desa tersebut.
Menariknya, mantan Sekretaris Desa mengaku memiliki sertifikat tanah di kawasan tersebut, namun tidak dapat menunjukkan bukti dokumennya.
Hal serupa juga diklaim oleh mantan Hukum Tua Rumbia.
“Kalau memang punya sertifikat, mana buktinya? Jangan hanya asal mengaku,” tegas salah satu anggota keluarga Pandeiroot Allow.
Mantan Hukum Tua Rumbia mengklaim bahwa sertifikat tanah yang dimaksud diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui program redistribusi tanah.
Namun, ia menegaskan bahwa selama tujuh tahun menjabat sebagai kepala desa, dirinya tidak pernah menerbitkan surat keterangan atau surat ukur atas lahan tersebut.
Lusye Rewah, salah satu pihak yang terlibat, menyatakan bahwa mantan Sekretaris Desa memicu konflik karena kedapatan mencabut baliho tetapi tidak mampu menunjukkan bukti kepemilikan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah setempat terkait insiden ini dan status kepemilikan lahan yang disengketakan.