Goni/PewartaSulut.com
Minahasa – Sebuah sengketa lahan seluas 54 hektare di Desa Palamba dan Rumbia, Kecamatan Langowan Selatan, Kabupaten Minahasa, tengah menjadi sorotan.
Kasus ini melibatkan keluarga besar Pandeiroot-Allow, yang mengklaim kepemilikan lahan tersebut secara turun-temurun, dan 17 orang yang baru-baru ini mendapatkan sertifikat atas lahan yang sama melalui program PRONA (Prona) tahun 2020.
Dugaan keterlibatan mafia tanah dan oknum pejabat setempat turut mengemuka dalam kasus ini.
Keluarga Pandeiroot-Allow, yang diwakili oleh Lusye Rewah Pandeiroot dan Krisye Pandeiroot, menyatakan bahwa lahan tersebut telah dikelola secara turun-temurun dan tercatat dalam register tanah Desa Palamba sejak tahun 1962.
“Kami tahu betul sejarah tanah ini. Tapi saat dicek, sudah ada sertifikat atas nama orang-orang yang bahkan kami tidak kenal. Ini bukan kesalahan biasa—ini kejahatan,” tegas Krisye.
Menurut keterangan yang dikumpulkan media ini, dugaan mengarah pada seorang pria berinisial FP yang mengklaim sebagai pemilik lahan dan diduga sebagai aktor utama di balik penerbitan sertifikat yang dipertanyakan keabsahannya.
Proses penerbitan sertifikat tersebut diduga melibatkan manipulasi dokumen dan surat keterangan dari aparat desa.
Sumber-sumber menyebutkan bahwa FP tidak bertindak sendiri dan dibantu oleh oknum-oknum tertentu.
Ketua BPKN Sulut, Kompol (Purn) Ferdy Pelengkahu, SH, menyatakan keprihatinannya atas kasus ini.
“Ini modus klasik: manipulasi dokumen dasar, pemanfaatan program nasional redistribusi, dan pembiaran oleh pejabat. Jika tidak segera diungkap, praktik ini akan terus menyasar tanah-tanah adat dan warisan masyarakat lokal,” ujarnya.
Kasus ini semakin sensitif karena melibatkan keluarga besar Sigar, keturunan langsung Maria Allow, nenek dari Presiden RI Prabowo Subianto.
Perwakilan keluarga Sigar menyatakan komitmen untuk memperjuangkan hak mereka melalui jalur hukum.
“Ini bukan soal politik. Ini soal kebenaran. Kami punya bukti kuat dan akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Jika perlu sampai ke pusat,” tegas perwakilan keluarga Sigar.
Hukumtua Desa Palamba, Bonny Kelung, mengakui bahwa sejak menjabat pada tahun 2007, lahan tersebut dikenal sebagai milik keluarga Karel Sigar, bagian dari keluarga besar Pandeiroot-Allow.
“Semua orang tahu siapa pemilik sebenarnya. Tapi entah kenapa bisa keluar sertifikat atas nama lain. Saya pun kaget,” akunya.
Camat Langowan Selatan, Donal Lumingkewas, menyatakan bahwa musyawarah telah dilakukan pada tahun 2023, namun tidak menghasilkan kesepakatan.
Ia menyarankan penyelesaian melalui jalur hukum.
Namun, investigasi menunjukkan bahwa mediasi tersebut tidak dibarengi dengan audit dokumen dan investigasi serius dari pihak pertanahan, menimbulkan dugaan pembiaran sistematis dari pemerintah lokal.
Kapolsek Langowan, Iptu Edi Asri, memberikan pesan Kamtibmas kepada ahli waris keluarga Pandeiroot-Allow, menghimbau agar tetap menjaga ketertiban dan menyelesaikan sengketa melalui jalur hukum.
“Mohon pihak keluarga kiranya dapat menahan diri serta menyelesaikan Konflik sengketa lahan ini dengan menempuh jalur Hukum agar tidak mengganggu situasi dan Kondisi Kamtibmas di wilayah Hukum Langowan,” ujar Iptu Edi Asri.
Lusye Pandeiroot menyambut baik himbauan tersebut dan meminta Hukumtua Desa Rumbia untuk mengeluarkan larangan aktivitas di lahan sengketa.
Hukumtua Rumbia, Oliver Musa Dharmawan, menyetujui permintaan tersebut dan berjanji akan menerbitkan larangan dalam bentuk baliho.
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran akan semakin maraknya praktik mafia tanah di Langowan dan sekitarnya.
Masyarakat menantikan langkah tegas dari Pemerintah Kabupaten Minahasa, ATR/BPN, dan aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus ini hingga tuntas dan memberikan keadilan bagi semua pihak.
Peristiwa ini juga menyoroti pentingnya pengawasan ketat dalam program pertanahan nasional untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dan melindungi hak-hak masyarakat atas tanah warisan leluhur mereka.